BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kita sedang berada di era globalisasi. Suatu masa di mana perkembangan saint dan teknologi begitu cepat pesat, semua serba canggih semua serba modern, sehingga mampu menjadikan peradapan manusia semakin menjulang tinggi.
Kalau ilmu sudah menjauh dari agama maka kehancuran dunia akan di mulai. Ilmu seakan berkembang dengan pesatnya, setiap hari setiap jam, setiap detik ada saja ilmu terbaru yang tepampang jelas di internet dan media lainnya, namun apakah itu semua sudah sesuai dengan ajaran agama Islam, tak bisa menyaring yang ada kita kena jaring kehancuran diri kita sendiri, tak bisa memilah malah diri sendiri jadi korban.
Ilmu Kesehatan dan agama sering di kaitkan dalam setiap tindakan manusia. Agama sebagai pengatur dari kegiatan kesehatan tersebut, agar kesehatan tidak menjadi ilmu yang menyesatkan dan punya norma etis. Tetapi tetapi tidak setiap ilmu kesehatan sellau di kaitkan dengan nilai – nilai agama. Pada dasarnya, ilmu kesehatan itu sendiri berlandaskan agama. Kitbp Al – Qur’an dan hadist menunjukkan dan menguraikan hal tersebut dalam bagian Surah dan ayatnya. Ilmu kesehatan adalah usaha manusia dapat membuat manusia itu bisa bertahan lebih lama di dunia. Tetapi ketika ilmu itu seudah melanggar aturan agama apakah dianggap sudah tidak etis lagi ?. Agama yang berbeda – beda menjadi faktor penentu, apakah ilmu kesehatan yang di kembangkan dan di lakukan itu etis ?. Setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang sejahtera dan dengan angka kehidupan yang panjang. Namun untuk mewujudkan itu semua terkadang mereka memakai jalan yang sudah melewati batas etis dan norma serta nilai agama yang berlaku. Itulah sebagian manusia, mewujudkan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya, tanpa memperdulikan akibatnya.
B. Tujuan
1. Mengetahui pandangan agama terhadap aborsi
2. Mengetahui pandangan agama terhadap euthanansia
3. Mengetahui pandangan agama terhadap transfusi darah
4. Mengetahui pandangan agama terhadap bayi tabung
5. Mengetahui pandangan agama terhadap transplantasi organ
6. Mengetahui pandangan agama terhadap masa nifas
7. Mengetahui pandangan agama terhadap pemberian ASI
8. Mengetahui pandangan agama terhadap clonning
9. Mengetahui pandangan agama terhadap bunuh diri
C. Manfaat
1. Sebagai bahan bacaan mahasiswa dan masyarakat umum.
2. Sebagai data referensi penelitian.
3. Sebagai data untuk para mahasiswa dan petugas kesehatan.
BAB II
ISI
A. Pandangan Agama Terhadap Aborsi
Abortion , secara ethimologis di artikan sebagai mengugurkan atau menanggalkan. To abort atau.penguguran. Sedangkansecara terminologis adalah ” premature labour is expulsoin of the product of conception after the end of the twenty eight week of pregnancy and before term ( cukup bulan ). “ at term” is expected date of continement (EDC). Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar. Atau berakhirnya kehamilan pada usia kehamilan kurang 20 minggu dan berat badan anak kurang dari 500 gram.
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33.
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
B. Pandangan Agama Terhadap Euthanansia
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
1. Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, nomor 66).
2. Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
3. Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih” ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi “karma” negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut. [24]
4. Dalam ajaran Agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).
Artinya:
Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat.
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut.
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
"Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga
a). Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
b). Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
5. Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
6. Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
7. Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
C. Pandangan Agama Terhadap Transfusi darah
Usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan umat manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah saw menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat (jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas dari makna filosofis dan religius simbolis dari pemakaian nama organisasi. Memang pemakaian lambang palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini adalah meniru Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya dengan semangat religiusitas Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan sekaligus misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.
Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai dalam masalah simbol dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan mengambil simbol Barat yang notabene sarat dengan semangat misi kristiani. Padahal Islam memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan sabit yang menandakan siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan semacam Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka meniru dan taklid buta kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat lain) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)
Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah maupun masyakat pada umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai dengan aspirasi akidah dan syiar Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya selama membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai ibadah sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.
Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah:
جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ..... جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.
Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah (bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjualbelikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan rabuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/109, Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130)
Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang diboelhkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.
Dengan demikian praktik
Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaimana dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menamam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya.
D. Pandangan Agama Terhadap Bayi tabung
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat meresahkan dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi paada 1960 –an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri. Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri.
Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Menurut hemat penulis, dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra:70 dan At-Tin:4. Kedua ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari ssperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat) harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:
• Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
• Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
• Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
• Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
• Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
• Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Artinya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman:14)
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Sedangkan hukum inseminasi buatan pada hewan dan hasilnya sebagaimana yang sering orang lakukan juga harus diddudukkanmasalahnya. Pada umumnya, hewan baik yang hidup di darat, air dan udara, adalah halal dimakan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan/hewan yang dilarang dengan jelas oleh agama.
Kehalalan hewan pada umumnya dan hewan ternak pada khususnya adalah berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:29, yang menyatakan bahwa semua yang ada di planet bumi ini untuk kesejahteraan manusia. Dan juga surat Al-Maidah:2, yang menyatakan bahwa semua hewan ternak dihalalkan kecuali yang tersebut dalam Al-An’am:145, An-Nahl:115, Al-Baqoroh:173 dan Al-Maidah:3. Ketiga surat dan ayat yang pertama tersebut hanya mengharamkan 4 jenis makanan saja, yaitu bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Sedangkan surat dan ayat yang disebut terakhir mengharamkan 10 jenis makanan, yaitu 4 macam makanan yang tersebut di atas ditambah 6, yakni: 1. Hewan yang mati tercekik, 2. Yang mati dipukul, 3. Yang mati terjatuh, 4. Yang mati ditanduk, 5. Yang mati diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih dan 6. Yang disembelih untuk disajikan pada berhala.
Mengenai hewan yang halal dan yang haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:
a. ulama yang hanya mengharamkan 10 macam makanan/hewan yang tersebut dalam Al-Maidah:3, sebab ayat ini termasuk wahyu terakhir yang turun. Mahmud Syaltut, mantan Rektor Univ. Al-Azhar mendukung pendapat ini.
b. Ulama hadits menambah beberapa larangan berdasarkan hadits Nabi, yaitu antara lain: semua binatang buas yang bertaring, semua burung yang berkuku tajam, keledai peliharaan/jinak dan peranakan kuda dengan keledai (bighal).
c. Ulama fiqih/mazhab menambah daftar sejumlah hewan yang haram dimakan berdasarkan ijtihad, yaitu antara lain: semua jenis anjing termasuk anjing hutan dan anjing laut, rubah, gajah, musang/garangan, burung undan, rajawali, gagak, buaya, tawon, semua jenis ulat dan serangga.
d. Rasyid Ridha, pengaran Tafsir Al-Manar berpendapat bahwa yang tidak jelas halal/haramnya berdasarkan nash Al-Qur’an itu ada dua macam: 1. semua jenis hewan yang baik, bersih dan enak/lezat (thayyib) adalah halal. 2. Semua hewan yang jelek, kotor dan menjijikan adalah haram. Namun kriteria baik, bersih, enak, menarik atau kotor, jelek dan menjijikan tidak ada kesepakatan ulama di dalamnya. Apakah tergantung selera dan watak masing-masing orang atau menurut ukuran yang umum.
Mengembangbiakkan dan pembibitan semua jenis hewan yang halal diperbolehkan oleh Islam, baik dengan jalan inseminasi alami (natural insemination) maupun inseminasi buatan (artificial insemination). Dasar hukum pembolehan inseminasi buatan ialah:
Pertama; Qiyas (analogi) dengan kasus penyerbukan kurma. Setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan/perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu. kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, kiranya inseminasi buatan pada hewan juga dibenarkan, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. (QS. Qaaf:9-11 dan An-Nahl:5-8).
Kedua; kaidah hukum fiqih Islam “al-ashlu fil asya’ al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimihi” (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sampai ada dalil yang jelas melarangnya). Karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang secara eksplisit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah.
Namun mengingat risalah Islam tidak hanya mengajak umat manusia untuk beriman, beribadah dan bermuamalah di masyarakat yang baik (berlaku ihsan) sesuai dengan tuntunan Islam, tetapi Islam juga mengajak manusia untuk berakhlak yang baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka patut dipersoalkan dan direnungkan, apakah melakukan inseminasi buatan pada hewan pejantan dan betina secara terus menerus dan permanen sepanjang hidupnya secara moral dapat dibenarkan? Sebab hewan juga makhluk hidup seperti manusia, mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi insting seksualnya, mencari kepuasan (sexual pleasure) dan melestarikan jenisnya di dunia.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal (yang hidup di darat, air dan terbang bebas di udara) diperbolehkan Islam, baik untuk dimakan maupun untuk kesejahteraan manusia. Pengembangbiakan boleh dilakukan dengan inseminasi alami maupun dengan inseminasi buatan. Inseminasi buatan pada hewan tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami sebagaimana proses bayi tabung pada manusia tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah
E. Pandangan Agama Terhadap Transplantasi organ
Transplantasi organ di sini adalah pemindahan organ tubuh dari satu manusia kepada manusia lain, seperti pemindahan tangan, ginjal, dan jantung. Trans¬plantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia pada saat dia hidup, atau setelah mati– kepada manusia lain. Hukum transplantasi organ adalah sebagai berikut :
1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup :
Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk meny¬umbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal. Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya. Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu. Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbang¬kan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut.Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberi¬kan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman :
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara¬nya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178)
Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup
Syarat bagi kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disum¬bangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelang¬sungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Allah SWT berfirman pula :
“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)
Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang terse¬but dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.”
Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan meny¬umbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menye-babkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata :
“Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?’ Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.”
Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyum¬bangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif –yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan– merupakan sub¬stansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan –yakni pabrik penghasil sel sperma dari sel-selnya– baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain. Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyum¬bang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedi¬kitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”
Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW :
“Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.”
Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat li’an :
“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).”
2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal :
Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup.Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar mening¬galnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuh¬nya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiat¬kan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya.Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemili¬kannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan seba¬gian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak men¬cakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya.
Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewaris¬kan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memi-liki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda terse¬but. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaat¬kan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan¬nya
Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terha¬dapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempun¬yai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terha¬dap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehor-matan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.\Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda :
“Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !”
Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !”
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membe-dah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbua¬tan ini haram dilakukan terhadap mayat.Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecah¬kan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penga¬niayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh).”
Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penga¬niayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’.
Keadaan Darurat
Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah memboleh¬kan seseorang yang terpaksa –yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya.
Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah memboleh¬kan orang yang terpaksa –yang telah kehabisan bekal maka¬nan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah –seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain– hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfir¬man :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam kea¬daaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atas¬nya.” (QS. Al Baqarah : 173)
Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat terse¬but diterapkan –dengan jalan Qiyas– pada fakta transplan¬tasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya ? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat pener¬apan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasa¬ran Qiyas –yaitu transplantasi organ– harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas –yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan– baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya. Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerap¬kan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan peranta¬raan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok –dalam sifat keumumannya atau kekhususannya– maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini be¬rarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masa¬lah cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya. Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok –yaitu menyelamatkan kehidupan– tidak terwujud pada masalah cabang (transplanta¬si). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi. Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan hara¬pan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (trans¬plantasi) –yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidu¬pan– tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang pene¬rima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raa¬jih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang –yakni transplantasi organ– telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan –seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru– dari orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam) –baik dia seorang muslim, ataupun seorang dzimmi*, seorang mu’ahid**, dan seorang musta’min*** — kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya.
F. Pandangan Agama Terhadap Masa nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak memberi batasan hari pada masa nifas, Darah yang dilihat seorang wanita hamil ketika mulai merasa sakit adalah nifas. Dengan kata lain Beliau memberi batasan pada rasa sakit pada wanita hamil ketika saat-saat mau melahirkan, bukan pada hitungan hari.
Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik satu simpul yang sama bahwa adanya hukum dikaitkan dengan keberadaan darah itu sendiri, dengan didukung tanda lain yaitu rasa sakit yang mengiringi proses kelahiran. Sebagaimana diketahui, bahwa wanita hamil menjelang saat-saat melahirkan akan mengeluarkan darah, sebagai awal pembukaan rahim yang dalam istilah medisnya disebut The Show. Darah ini keluar 2 atau 3 hari sebelum kelahiran (True Labour), yang biasanya akan diikuti pecahnya ketuban (Water Break) sehari atau dua hari sesudahnya. Setelah air ketuban pecah, dalam kondisi normal bayi akan lahir dalam waktu 24 jam setelahnya. Pada masa-masa seperti ini, wanita hamil akan ditimpa kesakitan dan kelelahan yang amat sangat karena kontraksi dalam perutnya berlangsung rutin dan terus menerus. Jika pada masa-masa seperti ini, dia tetap harus sholat, wudhu dan lain-lain rutinitas sehari-hari yang berhubungan dengan sholat pastilah sangat memberatkan. Subhanallah, islam diturunkan sebagai agama yang tidak memberatkan, dengan adanya hukum nifas setelah The Show keluar telah meringankan wanita hamil di saat detik-detik terakhir bayinya akan keluar.
Masa Nifas
Para ulama berbeda pendapat tentang batas masa nifas. Syaikh Taqiyuddin berkata dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa Syariat: Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata seorang wanita mendapati darahnya lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadist.
Titik tolak pendapat ini tidak berbeda jauh dengan pendapat Ibnu Taimiyah diatas bahwa dasar hukum dikaitkan dengan keberadaan darah itu sendiri, dengan tambahan batas kelaziman atau hukum umum (dalam hal ini 40 hari masa nifas) apabila ada ketidaknormalan dalam kejadiannya. Ada beberapa point yang harus difahami bagi wanita dalam permasalahan batas nifas:
1. Batas lazim nifas seperti banyak diriwayatkan oleh hadist adalah 40 hari. Hal ini harus di pegang terlebih dahulu sebagai batas normal
2. Jika kurang dari 40 hari, si wanita sudah melihat dirinya bersih dari darah, maka dia sudah masuk masa suci, kecuali jika berhentinya kurang dari 1 hari dan darah keluar lagi dalam masa 40 hari itu, maka itu termasuk masa nifas. Jangan terburu-buru untuk bersuci sampai benar-benar darah berhenti dan atau masa 40 hari terlampui. Muhammad Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan bahwa jika darah itu keluar pada masa yang dimungkinkan masih masa nifas (40 hari), maka dihukumi nifas. Walapun keluarnya terputus-putus. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Darah keluar terus menerus, lebih dari 40 hari, namun kemudian ada tanda-tanda akan berhenti (berkurangnya jumlah darah yang keluar atau tinggal spot-spot darah), maka tunggu sampai benar-benar berhenti, baru kemudian bersuci. Jika darah tidak kunjung berhenti, dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti, maka masa nifas dicukupkan 40 hari, karena itu lah batas kelaziman masa nifas
4. Jika darah tidak kunjung berhenti dan bertepatan dengan kelaziman masa haid, maka tetap menunggu sampai habis masa kelaziman haid-nya.
Untuk itu yang paling penting bagi wanita adalah menghafalkan kelaziman masa nifasnya sebagaimana mengenali masa haidnya. Hal ini lah yang menjadi patokan untuk masa nifasnya yang akan datang. Demikian disebutkan dalam kitab Al Mughni.
Nifas tidak ditetapkan kecuali seorang wanita melahirkan bayi yang berbentuk manusia. Adapun untuk wanita yang mengalami keguguran, maka darah yang keluar dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah). Dan yang disebut masa kehamilan sehingga berbentuk janin adalah minimal 80 hari hitungan masa kehamilan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:�Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) tersebut maka tidak perlu dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudahnya, maka dia tidak shalat dan tidak puasa.
Hukum-Hukum Seputar Nifas
1. Wanita nifas sebagaimana wanita haid dilarang shalat, puasa, haji dan umrah. Adapun untuk membaca Al-Qur’an, menurut pendapat ulama terkuat adalah dibolehkan wanita haid dan nifas membaca Al-Qur’an karena memang tidak ada dalil qath’i yang melarang perbuatan tersebut, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah dengan syarat tidak boleh menyentuh Al-Qur’an dan kertas yang ditulisi ayat Al-Qur’an tersebut. Misalnya diperbolehkan menghafalkannya.
2. Membaca tafsir dan hadist diperbolehkan bagi wanita nifas maupun haid, asalkan tidak menyentuhnya jika ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya
3. Iddah, dihitung dengan terjadinya talaq, bukan dengan nifas. Jika talaq jatuh sebelum sang wanita melahirkan, iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talaq jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi.
4. Masa Ila’. Masa haid termasuk hitungan masa Ila’, sedangkan masa nifas tidak. Ila’ adalah jika seorang suami bersumpah tidak menggauli istrinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila seorang suami telah mengeluarkan Ila’ kepada istrinya, maka diberi waktu baginya untuk tidak menggauli istrinya dalam masa 4 bulan, dan setelah itu boleh menggaulinya kembali atau menceraikannya. Jika wanita mengalami nifas dalam masa 4 bulan ini, maka tidak dihitung bagi suami dan ditambah masa 4 bulan tadi dengan lamanya nifas.
5. Baligh. Masa baligh terjadi dengan haid, bukan nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin hamil sebelum baligh
6. Diharamkan suami mendatangi istrinya pada masa nifas, dan diperbolehkan menggaulinya setelah ia suci, walaupun ia suci sebelum 40 hari.
Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya, termasuk mengilmuinya terlebih dahulu, maka dia telah terbebas dari tanggungannya. Sesuai dengan firman Allah:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-Baqarah:286)
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (At-Taghabun:16)
G. Pandangan Agama Terhadap Pemberian ASI
Susu merupakan makanan terpenting dan sumber kehidupan satu-satunya bagi bayi di bulan-bulan pertama usianya. Susu terbaik untuk anak adalah air susu ibu karena dengan menyusui terjadilah kontak cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak. Ibu adalah orang yang paling mampu memberikan cinta dan kehangatan yang sesungguhnya kepada anak dengan naluri keibuannya yang diberikan Allah kepadanya.
“Ibulah yang dapat memenuhi kebutuhan cinta dan kasih sayang yang didambakan anak sejak hari-hari pertama masa menyusui”.
“Dengan menyusui, hubungan cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak akan semakin erat dan akan membuat anak merasa tenang dan aman”.
Riwayat-riwayat Ahlul Bait a.s. dan wejangan-wejangan yang mereka berikan kepada umat Islam banyak menekankan keutamaan air susu ibu bagi anak. Imam Amirul Mu’minin Ali a.s. berkata,
ما من لبن يرضع به الصبي أعظم بركة عليه من لبن أمّه
Artinya: Tidak ada air susu yang lebih berbarakah bagi anak bayi dari air susu ibunya sendiri.
Riset ilmiah telah membuktikan bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Selain itu, dengan menyusui anak akan merasa aman dan tenang berada di dalam pelukan ibunya. Pada saat-saat ketika praktek menyusui tidak mungkin dilakukan karena sedikitnya air susu ibu, atau karena ibu sedang sakit, atau ketiadaan ibu karena bercerai atau meninggal dunia, Ahlul Bait memerintahkan untuk memilih ibu susu yang memiliki kriteria tertentu.
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. berkata,
انظروا من ترضع أولادكم فإن الولد يشبّ عليه
Artinya: Hati-hatilah kalian dalam memilih ibu susu untuk anak kalian karena air susu yang diminumnya akan mempengaruhi jalan kehidupannya.
Baik air susu maupun ibu yang menyusui berpengaruh pada perkembangan jasmani dan ruhani anak. Riset ilmiah yang dilakukan oleh para ahli pun membenarkan hal tersebut.
Ada beberapa kriteria bagi ibu susu yang dijelaskan oleh para imam suci Ahlul Bait a.s. Imam Muhammad Baqir a.s. berkata,
استرضع لولدك بلبن الحسان وإياك والقباح فإن اللبن قد يعدي
Artinya: Susukanlah anak kalian pada wanita yang cantik dan jangan kalian susukan kepada wanita yang buruk rupa karena air susu akan berpengaruh pada parasnya.
Beliau juga mengatakan
عليكم بالوضاء من الظؤرة فإن اللبن يعدي
Artinya: Carilah ibu susu yang bersih dan cantik karena air susu akan berpengaruh pada anak.
Ada larangan dari Ahlul Bait a.s. untuk menyusukan anak pada beberapa wanita, di antaranya wanita Majusi. Abdullah bin Hilal berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq a.s. tentang menyusukan anak pada wanita Majusi. Beliau menjawab,
لا , ولكن أهل الكتاب
Artinya: Jangan! Tapi susukanlah anakmu itu pada wanita Ahlul Kitab.
Kaum muslimin dapat memberikan anak mereka kepada wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani) untuk disusui dengan syarat mereka harus melarang wanita tersebut meminum minuman keras. Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,
إذا أرضعن لكم فامنعوهنّ من شرب الخمر
Artinya: Jika wanita Ahlul Kitab akan menyusui anakmu, pertama kali, laranglah ia dari minuman keras.Imam Ja’far Shadiq a.s. melarang kita untuk menyusukan anak pada wanita pelacur dan wanita yang memiliki air susu hasil dari perzinaan. Beliau berkata, Hikmah dari larangan tersebut adalah karena air susu sangat berpengaruh pada kepribadian anak. Wanita pezina selalu hidup dalam keresahan hati dan ketidak-tenangan. Ia selalu dihantui oleh perasaan bersalah dan berdosa pada Tuhan sejak hari pertama terbentuknya janin di rahimnya. Semenjak saat itu sampai ia melahirkan, perasaan yang tidak menentu selalu hadir di hatinya. Kondisi jiwa dan mental seperti itu sangat berpengaruh pada kestabilan mental dan keseimbangan jiwa anaknya. Karena itulah, air susu anak hazil zina pun tidak baik bagi anak kita.
Dalam sebuah hadis di sebutkan bahwa Rasulullah SAWW mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap air susu wanita pelacur dan wanita gila. Beliau bersabda,
توقوا على أولادكم من لبن البغيّة والمجنونة فإن اللبن يعدي
Artinya: Jagalah anak kalian dari air susu wanita pezina dan wanita gila karena air susu akan meninggalkan kesannya pada anak tersebut.
Rasulullah SAW juga bersabda,
لاتسترضعوا الحمقاء فأن الولد يشبّ عليه
Artinya: Jangan kalian susukan anak kalian pada wanita yang dungu karena anak akan terpengaruh oleh air susunya.
Imam Muhammad Baqir a.s. berkata,
Para pakar psikologi menekankan agar para ibu hendaknya dalam keadaan yang tenang saat menyusui, lalu menyentuh kening anaknya dengan lembut. Selain itu mereka menyebutkan bahwa ibu tidak boleh memaksa anaknya untuk menghadap ke payudaranya, karena dikhawatirkan hal itu akan mengejutkan dan mem-bingungkan anak.
Dalam konsep yang diajarkan oleh Ahlul Bait a.s. disebutkan juga tata cara dan masa menyusui. Mereka menegaskan bahwa cara menyusui anak adalah dengan memberikan kedua payudara ibu ke pada anak secara bergantian dan masa menyusui hendaknya tidak kurang dari dua puluh satu bulan.
الرضاع واحد وعشرون شهرا فما نقص فهو جور على الصبي
Artinya: Masa menyusui adalah dua puluh satu bulan. Jika kurang dari masa ini berarti anak tersebut telah dizalimi haknya. Masa yang cukup panjang ini sangat baik bagi per-kembangan mental dan psikis anak karena masa menyusu adalah masa yang sangat sensitif bagi anak dan masa yang membentuk kepribadiannya. Saat sang ibu mendekapnya, ia akan merasakan cinta dan kehangatan.
Mengenai hal ini Profesor Louis Cablan menegaskan, “Anak yang mendapatkan curahan kasih sayang yang cukup dari ibu pada tahun pertama dan kedua dari usianya akan selalu merasa aman. Pada umumnya anak seperti ini tidak akan merasa gelisah atau takut.
Dengan mudah ia dapat beradaptasi saat menginjak usia tiga- empat tahun. Anak yang selalu merasa aman memiliki kestabilan mental dan mudah bergaul dengan siapa saja dan bergabung dengan anak-anak seusianya”.
Salah satu hal yang penting bagi anak di masa-masa seperti ini adalah nyanyian anak-anak, karena hal itu sangat membantu mempercepat kemampuan berbahasa dan perkembangan mentalnya di masa mendatang. Fathimah Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW, sering membawakan nyanyian berikut ini untuk anaknya Al-Hasan.
سبع تمرات من تمر المدينة فإن لم يكن فسبع تمرات من تمر أمصاركم
Artinya: Tujuh butir kurma Medinah. Jika tidak ada, tujuh butir kurma negeri kalian sendiri.
Imam Ja’far Shadiq a.s. menganjurkan untuk memakan satu jenis kurma, yaitu kurma Barni. Beliau mengatakan
اطعموا البرني نسائكم في نفاسهن تحلم أولادكم
Artinya: Berilah isteri kalian yang baru melahirkan kurma Barni karena dapat membuat anak kalian berhati lembut
Riwayat yang lain menyebutkan bahwa beliau berkata,
اطعموا نسائكم التمر البرني في نفاسهن تجمّلوا أولادكم
Artinya: Berilah isteri kalian yang baru melahirkan kurma Barni karena dapat mempercantik paras anak kalian.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah sebagai berikut.
Pertama, anak harus mendapatkan air susu ibunya. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, dianjurkan untuk mencari ibu susu mukmin dan sehat lahir batin. Namun bila ibu susu dengan kriteria tersebut tidak didapatkan, kita diperbolehkan untuk mengambil ibu susu yang tidak beragama agama Islam dengan syarat melarangnya meminum minuman keras dan memakan atau meminum segala sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan anak. Kedua, kestabilan mental dan emosional ibu dan kesehatan jasmaninya haruslah diperhatikan. Selain itu, untuk mendapatkan air susu dalam jumlah yang banyak dan berkualitas tinggi, dianjurkan agar ibu memakan makanan yang mengandung banyak gizi karena hal itu sangat penting untuk pertumbuhan fisik dan psikis anak.
H. Pandangan Agama Terhadap Cloning
Kloning (klonasi) adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia.
Kloning dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) yang telah diambil ini selnya (nukleus) dari tubuh manusia yang selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita. Perbandingan antara Pembuahan Alami dengan Kloning: Pembuahan alami berasal dari proses penyatuan sperma yang mengandung 23 kromosom dan ovum yang mempunyai 23 kromosom. Ketika menyatu jumlah kromosomnya menjadi 46. Jadi anak yang dihasilkan akan mempunyai ciri ciri yang berasal dari kedua induknya. Dalam proses kloning, sel yang diambil dari tubuh manusia telah mengandung 46 kromosom, sehingga anak yang dihasilkan dari kloning hanya mewarisi sifat-sifat dari orang yang menjadi sumber pengambilan inti sel tubuh.
a Kloning tumbuhan dan hewan
Memperbaiki kualitas dan produktivitas tanaman dan hewan menurut syara’ termasuk mubah. Memanfaatkan tanaman dan hewan, melalui proses kloning, untuk mendapatkan obat hukumnya sunnah. Sebab berobat hukumnya sunnah. Innallaha azza wa jalla kaitsu kholaqodda’a kholaqodda wa ‘a fatadawau "Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kamu" (HR. Imam Ahmad)
b Kloning Embrio
Kloning embrio terjadi pada sel embrio yang berasal dari rahim istri atas pertemuan sel sperma suami dengan sel telur istri. Sel embrio itu kemudian diperbanyak hingga berpotensi untuk membelah dan berkembang. Setelah dipisahkan sel embrio itu selanjutnya dapat ditanamkan dalam rahim perempuan asing (bukan istri). Kalau ini yang terjadi maka hukumnya haram. Akan tetapi jika sel-sel embrio itu ditanamkan ke dalam rahim pemilik sel telur, maka kloning tersebut hukumnya mubah.
c Kloning Manusia
Secara sederhana, kloning sebenarnya tidak lebih dari proses pencangkokan yang biasa dilakukan manusia pada tanaman. Tanaman baru yang dihasilkan memiliki ciri-ciri genetik sama dengan induknya. Ada beberapa tahap pada kloning.
1. Sel stem dari donor (bisa pria dan wanita) diambil inti selnya. Inti sel berisi informasi genetik. Pada saat yang sama disiapkan pula sel telur yang diambil dari seorang wanita. Sel telur tersebut diambil inti selnya.
2. Inti sel dari donor disisipkan ke dalam sel telur. Terjadi proses pembelahan dan pertumbuhan dalam sel telur.
3. Pada hari kedua, mereka tumbuh menjadi sel embrio dan terus membelah dan pada hari kelima mulai memisahkan diri.
4. Pada hari kelima inilah sel embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita dan berkembang menjadi bayi dengan kode genetik sama dengan sel donor.
Walaupun dengan alasan untuk memperbaiki keturunan; biar lebih cerdas, rupawan lebih sehat, lebih kuat dll, kloning manusia hukumnya haram. Dalil keharamannya adalah sebagai berikut:
1) Proses kloning tidak alami. Wa ‘abbahu kholaqozzau jainiz zakaro wal untsa min nutfatin idza tumna (Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani yang dipancarkan. QS An Najm 45-46)
2) Produk kloning tidak mempunyai ayah. Yaa ayyuhannnas, inna kholagnakum, min zakarin wa untsa (Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. QS. Al Hujarat 13) Ud ‘uhum li aba’ihim huwa ‘aqsyatu indallah Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah) QS Al Ahzab 5)
3) Kloning manusia menghilangkan nasab (garis keturunan). Islam mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriwayatkan oleh Ibnu Abas RA Manin tasaba ilaa ghoiri abihi, autawalla ghoiro muwalihi, fa’alaihi laknatullah wal malaikatihi wan nasi aj’main (HR; Ibnu Majah) (Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (budak) bertuan kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia)
I. Pandangan Agama Terhadap Bunuh diri
Dalam berbagai ayatnya, Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah SWT, adalah tuhan yang menganugerahkan hidup dan menentukan mati. Diantaranya:
Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu, dan diantara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun) supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha kuasa (Q.S. Al-Nhal, 16: 70).
Dari ayat ini kita mengetahui bahwa kematian “suatu saat” pasti datang entah itu dimasa kanak-kanak, muda, atau lanjut usia. Ayat ini menyinggung tentang ketidak berdayaan dimasa tua yang dialami oelh sebagian manusia ketika mereka dianugerahi umur panjang.1 Demikian halnya bila sebelum ajal tiba, seseorang dalam rentang waktu yang panjang tertimpa berbagai penyakit yang menyebabkan dia harus mendapatkan peraatan dan perhatian medis.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 2, di ingatkan bahwa hidup dan mati adalah ditangan Allah yang ia ciptakan untuk menguji iman, amalah, dan ketaatan manusia terhadap tuhan, penciptanya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan hidup manusia itu, Islam menetapkan norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman haddar qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda) atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman diakhirat berupa siksaan Tuhan dineraka kelak.
Orang yang nekad bunuh diri, biasanya karena putus asa diantara penyebabnya adalah penderitaan hidup. Ada orang yang menderita fisiknya (jasmaninya), karena memikirkan sesuap nasi untuk diri dan keluarganya. Keperluan pokok dalam kehidupan sehari-hari tidak terpenuhi, apalagi pada jaman sekarang ini, pengeluaran lebih besar dari pemasukan.
Adapula orang yang menderita batinnya yang bertakibat patah hati, hidup tiodak bergairah, masa depannya keliatan siuram, tidak bercahaya. Batinnya kosong dari cahaya iman dan berganti dengan kegelapan yang menakutkan. Penderitaan kelompok kedua ini, belum tentu karena tidak punya uang, tidak punya kedudukan, dan tidak punya nama, karena semua itu belum tentu dan ada kalanya tidak dapat membahagiakan seseorang, pada media masa kita baca ada jutawan, artis dan ada tokoh yang memilih mati untuk mengakhiri penderitaanya itu, apakah penderitaan jasmani atau penderitaan batin.
Kalau kita perhatikan, mak tampak jelas, baik kelompok pertama maupun kedua, sama-sama tidak mampu menghadapi kenyataan dalam hidup ini. Mereka tidak mampu menghayati dalam memahami, bahwa dunia ini dengan segala isinya adalah pemberian Allah dan pinjaman yang akan dikembalikan, dan suka dukapun silih berganti dalam menghadapinya.
1. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 29-30
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
Artinya: dan janganlah kamu membunuh diri mu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepada kamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka kami kelak akan memasukannya kedalam neraka yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
2. Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari jundub bin Abdullah r.a:
Artinya: telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda, ”Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan.” aku mengharamkan surga untuknya.
Ayat Al-Qur’an dan Hadist tersebut di atas dengan jelas menunjukkan, bahwa bunuh diri itu di dilarang keras oleh Islam dengan alasan apapun. Dengan demikian keliru sekali, kalau ada anggapan, bahwa dengan jalan bunuh diri, segala persoalan telah selesai dan berakhir. Padahal azab penderitaan yang lebih berat, telah menyongsong di akhirat kelak.
BAB I
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Menurut pandangan agama IslamAborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa.
2. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
3. Tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia. Yang haram adalah menjual belikan darah.
4. Mengenai hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat). Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina
5. Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk meny¬umbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal. Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil
6. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak memberi batasan hari pada masa nifas, Darah yang dilihat seorang wanita hamil ketika mulai merasa sakit adalah nifas. Dengan kata lain Beliau memberi batasan pada rasa sakit pada wanita hamil ketika saat-saat mau melahirkan, bukan pada hitungan hari.
7. Pertama, anak harus mendapatkan air susu ibunya. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, dianjurkan untuk mencari ibu susu mukmin dan sehat lahir batin. Namun bila ibu susu dengan kriteria tersebut tidak didapatkan, kita diperbolehkan untuk mengambil ibu susu yang tidak beragama agama Islam dengan syarat melarangnya meminum minuman keras dan memakan atau meminum segala sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan anak. Kedua, kestabilan mental dan emosional ibu dan kesehatan jasmaninya haruslah diperhatikan. Selain itu, untuk mendapatkan air susu dalam jumlah yang banyak dan berkualitas tinggi, dianjurkan agar ibu memakan makanan yang mengandung banyak gizi karena hal itu sangat penting untuk pertumbuhan fisik dan psikis anak.
8. Walaupun dengan alasan untuk memperbaiki keturunan; biar lebih cerdas, rupawan lebih sehat, lebih kuat dll, kloning manusia hukumnya haram. Dalil keharamannya adalah QS An Najm 45-46 dan lain – lain.
9. Ayat Al-Qur’an dan Hadist dengan jelas menunjukkan, bahwa bunuh diri itu di dilarang keras oleh Islam dengan alasan apapun. Dengan demikian keliru sekali, kalau ada anggapan, bahwa dengan jalan bunuh diri, segala persoalan telah selesai dan berakhir. Padahal azab penderitaan yang lebih berat, telah menyongsong di akhirat kelak.
B. SARAN
Berusaha itu memang di perintahkan oleh agama, namun berusaha lah dengan tidak melanggar norma dan nilai agama itu agar tidak mendatangkan bencana dan dosa di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Qur’an
Al - Hadits
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-kloning/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-aborsi/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-trasnplantasiorgan/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-bayitabung/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-nifasdanhukumhukumnya/
http://id.wikipedia.org/wiki/Ginjal
http://id.wikipedia.org/wiki/aborsi
http://id.wikipedia.org/wiki/euthanansia
http://baim32.multiply.com/journal/item/76/Transplantasi
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0505/04/Bentara/1726381.htm
http://www.tuskegee.edu/Global/story.asp?S=7785187&nav=menu200_14
http://www.mail-archive.com/radioliner@yahoogroups.com/msg00932.html
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jul/2002/utama02.htm
www.abortiono.org
www.liputan6.com
www.kompas.co.id
www.almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar