BERORGANISASI UNTUK BERAMAL

SELAMAT DATANG

Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Minggu, 11 April 2010

KEBIJAKAN KESEHATAN DI ERA OTONOMI DAERAH

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Seiring dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, maka berbagai aturan main di daerah terjadi perubahan paradigma, bahkan perubahan paradigma tersebut hampir di setiaplini kehidupan di daerah, termasuk diantaranya perubahan paradigma pelayanan publik di daerah.Paradigma kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasanpelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadi paradigma good governance.Pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rulegovernment) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini tantangan yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah Indonesia cukup berat. Masa transisi sistem pemerintahan daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Th. 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 32 Th. 2004 telah membawa beberapa perubahan yang mendasar. Pertama, daerah yang tadinya sebelum berlakunya UU No. 22 Th. 1999, otonomi yang dimiliki pemerintah daerah hanyalah otonomi nyata dan bertanggung jawab saja, tetapi dengan berlakunya UU No. 22 Th. 1999 menjadi otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Di era otonomi daerah ini, pemerintah berulang kali mengeluarkan kebijakannya dalam bidang kesehatan. Hal ini dapat terlihat dari fakta – fakta yang ada dan kita rasakan sekarang. Kebijakan – kebijakan tersebut di keluarkan tidak sembarang saja, melalui proses panjang dan alot. Melalui berbagai pemikiran yang di pikirkan oleh pemerintah. Maka dari itu kebijakan di keluarkan oleh pemerintah dengan seksama dan berdasarkan dasar – dasar pemikiran yang kuat.
Namun, pada kenyataannya pemikiran dan ide – kreatif tersebut melenceng dari segala hal yang di rencanakan sebelumnya. Beberapa kebijakan kesehatan yang di lakukan pemerintah pada era otonomi daerah adalah program obat murah dan penghilangan B KKBN, yang sekarang bergabung dengan Dinas Kependudukan.
Kedua hal ini merupakan hasil dari pemikiran pemerintah, namun kedua hal ini tidak akan menimbulkan masalah dan konflik ketika kedua hal ini di jalankan sesuai dengan kaidahnya. Program obat murah yang di berikan pemerintah kepada masyarakat ternyata tidak berjalan sesuai kehendak pemerintah. Program ini berjalan setengah jalan da kadang – kadang di sebut orang mati suri. Ketika ada kucuran dana barulah program ini berjalan, namun apabila tidak ada kucuran dana, mohon maaf saja, program ini akan mati suri kembali.
Penghapusan departemen BKKBN, mungkin bagi pemerintah ini pemikiran yang bagus, namun membawa masalah besar. Ternyata di dalam kenyataannya penghapusan BKKBN ini menuai masalah yaitu departemen kependudukan yang telah bergabung dengan BKKBN menjalankan fungsinya tidak sesuai dengan dasar – dasar program BKKBN dulunya. Dalam kenyataannya pemberian prioritas pada kesehatan diwujudkan hanya terbatas pada perbaikan sarana dan prasarana kesehatan atau diwujudkan dalam realitas kegiatan yang sifatnya sesaat, seperti diadakannya penyuluhan tentang kesehatan atau program-program perbaikan gizi.
Pemerintah kabupaten /kota dengan penduduk yang tidak besar mempunyai anggapan bahwa BKKBN tidak diperlukan kehadirannya, karena BKKBN dengan KB program utamanya sangat identik dengan upaya pengendalian dan pembatasan kelahiran ( birth control ), Padahal pengendalian kelahiran hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan program KB yang juga menyentuh aspek-aspek social ekonomi. Kedua, Beralihnya BKKBN kepada pemerintah kabupaten/ kota akan membawa beban apabila harus berbentuk menjadi dinas atau badan. Seperti diketahui bahwa setelah otonomi banyak sekali dinas dan badan digabung dengan alasan efisiensi. Hal tersebut menyebabkan pembentukan dinas atau badan baru, selain menyebabkan struktur organisasi menjadi lebih besar Juga memberatkan APBD karena harus mengalokasikan sejumlah dana tertentu untuk pembentukan dinas baru tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana BKKBN akan ditempatkan dalam struktur organisasi pemerintah kabupaten/kota setelah otonomi daerah ?, kemudian apabila BKKBN dihapuskan bagaimana kelangsungan program kesehatan reproduksi perempuan di suatu kabupaten/kota ?.
B. TUJUAN
1. Mendefinisikan arti dari kebijakan kesehatan
2. Mendefinisikan arti dari otonomi daerah
3. Mendefinisikan arti dari pelayanan publik
4. Mengetahui pandangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tentang program obat murah
5. Mengidentifikasi BKKBN pada era otonomi daerah
6. Mengidentifikasi tujuan pemberian otonomi kepada pemerintah daerah
C. MANFAAT
1. Bagi pemerintah daerah
Makalah ini bisa menjadi refensi dan juga dasar untuk melakukan kebijakan selanjutnya agar tidak menuai masalah di kemudian hari
2. Bagi tenaga kesehatan
Makalah ini bisa menjadi bahan diskusi dalam setiap kebijakan yang diterapkan pemerintah dan juga sebagai dasar pemikiran dalam melakukan program kesehatan
3. Bagi mahasiswa
Sebagai bahan diskusi di kalangan mahasiswa dan juga sebagai refensi bila sustu saat nanti mendapatkan tugas yang berkaitan dengan isi makalah ini
4. Bagi masyarakat
Sebagai bahan bacaan dan juga tambahan pengetahuan umum yang bisa untuk di diskusikan.







BAB II
TINJAUAN TEORI


A. KEBIJAKAN KESEHATAN
1. Definisi
Analisisi kebijakan kesehatan adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak, dalam mengambil kebijakan di bidang kesehatan berlandaskan atas manfaat yang optimal yang akan diterima oleh masyarakat.
2. Kebijakan kesehatan di Indonesia
a. Visi : Departemen kesehatan sebagai penggerak pembangunan kesehatan menuju terwujudnya indonesia sehat
b. Misi :
 Memantapkan manajemen kesehatan yang dinamis dan akuntabel
 Meningkatkan kinerja dan mutu upaya kesehatan
 Memberdayakan masyarakat dan daerah
 Melaksanakan pembangunan kesehatan yang berskala nasional
c. Tujuan
Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya Tujuan tersebut dicapai melalui pembinaan, pengembangan dan pelaksanaan serta pemantapan fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang didukung oleh sistem informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan serta hukum kesehatan
d. Sasaran
 Tersedianya berbagai kebijakan dan pedoman, serta hukum kesehatan yang menunjang pembangunan kesehatan
 Terbentuk dan terselenggaranya sistem informasi manajemen kesehatan yang ditunjang oleh sistem informasi manajemen kesehatan daerah
 Terlaksananya dan termanfaatkannya hasil penelitian dan pengembangan kesehatan dalam mendukung pembangunan kesehatan
 Terselenggaranya promosi kesehatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pengembangan perilaku sehat
 Terselenggaranya advokasi dan pengawasan oleh perorangan, kelompok dan masyarakat dibidang kesehatan
 Terselenggaranya sistem surveilans dan kewaspadaan dini serta penanggulangan kejadian luarbiasa
 Tersedianya pembiayaan kesehatan yang cukup , adil, berdaya guna dan berhasil guna
 Tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara mencukupi dan distribusinya merata.
3. Program kesehatan yang terkait dengan kebijakan kesehatan
 Kebijakan program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
 Kebijakan program lingkungan sehat
 Kebijakan program upaya kesehatan
 Kebijakan program pelayanan kesehatan
 Kebijakan program upaya kesehatan perorangan
 Kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
 Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
 Kebijakan program sumber daya kesehatan
 Kebijakan program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
B. OTONOMI DAERAH DAN PELAYANAN PUBLIK
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (wikepedia.com)
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".[Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".[Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. (wikepedia.com)
Kewenangan otonomi luas adalah Keleluasaan daerah untuk menyelengarakan kewenangan yang mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang bulat dan utuh dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi (Malarangeng, dkk., 2001: 117).
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah (Abe, 2001: 112).
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab berupa Perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam mewujudkan tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Abe, 2001: 112). Penyerahan sebagian fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah akan menciptakan keleluasaan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Begitu pula, diharapkan dapat mempercepat proses distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi daerah yang lebih mandiri.
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa (Mamesah, 1995: 56).
Salah satu bagian dari tugas dan wewenang yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah dalam era otonomi daerah ini adalah pelayanan di bidang kesehatan. Hal ini menjadikan pemerintah daerah harus mempersiapkan dan meningkatkan pelayanan di bidang kesehatan secara keseluruhan.
Berbagai Pengertian mengenai Pelayanan (Service) banyak dikemukakan oleh para ahli; diantaranya menurut American Marketing Association, seperti dikutip oleh Donald W,Cowell (1984:22) menyatakan bahwa; “Pelayanan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dan pada hakekatnya tidak berwujud serta tidak menghasilkan kepememilikan sesuatu, proses produksinya mungkin dan mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik”. Sementara menurut Lovelock,Christoper H (1991:7), bahwa “service adalah produk yang tidak berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami”. Artinya service merupakan produk yang tidak ada wujud atau bentuknya sehingga tidak ada bentuk yang dapat dimiliki, dan berlangsung sesaatatau tidak tahan lama, tetapi dialami dan dapat dirasakan oleh penerima layanan. Sedangkan menurut M.A. Imanto bahwa siklus pelayanan adalah “Sebuah rangkaian peristiwa yang dilalui pelanggan sewaktu menikmati atau menerima layanan yang diberikan. Dikatakan bahwa siklus layanan dimulai pada saat konsumen mengadakan kontak pertama kali dengan service delivery system dan dilanjutkan dengan kontak-kontak berikutnya sampai dengan selesai jasa tersebut diberikan”.Pelayanan Publik Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Departemen Dalam Negeri (2004) menyebutkan bahwa;“Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaandan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”.Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut,dalam kontek pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.Dengan demikian, terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah,unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atauditerima oleh penerima layanan (pelanggan).Unsur pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai(regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan olehorang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah,karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi duaarah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya Pungli,dan ironisnya dianggap saling menguntungkan. Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan(Pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadiparadigma good governance.(Hardiyansyah Ahmad )
C. PARADIGMA KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Konsepsi kebijakan otonomi daerah Kebijakan desentralisasi memiliki tujuan utama, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik, diarahkan untuk memberi ruang gerak masyarakat dalam tataran pengembangan partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan demokrasi. Disisi lain dari pendekatan aspek pendemokrasian daerah, memposisikan Pemerintahan Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal. Diharapkan pada saatnya, secara agregat daerah memberikan kontribusi signifikan tehadap perkembangan pendidikan politik secara nasional, dan terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif, memposisikan Pemerintah Daerah sebagai unit pelayanan yang dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat berfungsi maksimal dalam menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Berdasarkan tujuan politik dan administratif tersebut diatas, memberikan kejelasan bahwa misi utama dari keberadaan Pemerintahan Daerah, adalah bagaimana mensejahterakan warga dan masyarakatnya melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis, dengan cara-cara yang demokratis. Konsep kebijakan pemberian otonomi luas,nyata dan bertanggung jawab pada dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Melalui peningkatan pelayanan publik dan pemberdayaan peran serta masyarakat, daerah diharapkan mampu mengembangkan kreativitas, inovasi, dan dengankomitmennya berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pada pada saatnyadiharapkan mampu mengembangkan potensi unggulannya dan mendorong peningkatan dayasaing daerah, serta meningkatkan perekonomian daerah.9 Prinsip otonomi yang nyata, adalah memberikan diskresi atau keleluasaan kepadadaerah untuk menyelenggarakan urusan atau kewenangan bidang pemerintahan tertentu yangsecara nyata ada dan diperlukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan urusan yang secaranyata hidup dan berkembang, di masyarakat daerah yang bersangkutan. Sedangkan prinsip otonomi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan tugas, fungsi, tanggungjawab dan kewajiban daerah di dalam pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah. Artinya Daerah harus mempertanggung-jawabkan hak dan kewajibannya kepada masyarakat atas pencapaiantujuan otonomi daerah.Wujud tanggung jawab tersebut harus tercermin dan dibuktikan dengan peningkatanpelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik berdasarkan prinsip-prinsippelayanan publik, pengembangan demokrasi, keadilan dan pemerataan bagi masyarakatdaerahnya. Disamping itu, wujud pelaksanaan tanggung jawab daerah di dalampenyelenggaraan otonomi daerah juga harus didasarkan pada hubungan yang serasi antarsusunan pemerintahan dan kebijaksanaan pemerintahan nasional.
Otonomi daerah yang luas, tidak bermakna atau tidak berarti daerah dapat semenamena atau sebebas-bebasnya melakukan tindakan dan perbuatan hukum berdasarkan seleradan keinginan yang mengedepankan ego daerah. Penyelenggaraan otonomi yang luas, harus sejalan, selaras dan dilaksanakan bersama-sama dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, dan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan daerah danpemerintah nasional.Konsep Kebijakan Pelayanan Publik pada Era Otonomi Daerah Paradigma kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diatur melaluiberbagai macam Peraturan Perundang-undangan, hakekatnya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Konsep pemberian otonomi kepada daerah dan konsep desentralisasi yang telah diuraikan diatas, mengandung pemahaman bahwa kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, adalah dalam kerangka terselenggaranya kepemerintahan yang baik, yang diwujudkan melalui tanggung jawab dan kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya.Otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untukmengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatsetempat…”. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukumyang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus-urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkanaspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi tersebut dapat diartikan, bahwa otonomi daerah adalah hak,wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurusurusan pemerintahan untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat.
Pengertian kesatuan masyarakat hukum dapat diartikan, sekelompok masyarakat yang melembaga yang memiliki tatanan hubungan, aturan, adat istiadat, kebiasaan dan tata cara untuk mengatur dan mengurus kehidupannya dalam batas wilayah tertentu. Dalam kontek Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberi hak,wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan selanjutnya disebut Daerah.Dengan demikian, penyelenggara otonomi daerah sebenarnya adalah perwujudan dari kesatuan masyarakat hukum, dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 disebutPemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah disini, mengandung dua pengertian; yaitu dalam arti institusi adalah Pemerintah Daerah dan DPRD, dan dalam arti proses adalah kegiatan penyelenggaran pemerintahan daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah,Pemerintah Daerah dan DPRD seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mengutamakan tanggungjawab dan kewajibannya untuk mensejahterakan masyarakat, dengan memberikan dan/atau menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakatsetempat. 10 Konsep otonomi daerah telah membuka sekat komunikasi, transparansi danakuntabilitas di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk semakin memahami hak-haknya mendapatkan pelayanan dari pemerintah daerah, termasuk peran dan hak-hak perempuan di dalam mendapatkan akses pelayanan, kesetaraan perlakuan dan kesempatan luas untuk beraktivitas diranah birokrasi publik.Masyarakat semakin kritis dan berani untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan control terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya. Harus diakui, pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, dengan kekurangan dan kelebihannya belum berpengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam proses memberdayakan masyarakat (empowering) dan memberikan pendidikan politik (demokrasi). Dilihat dari tujuan pemberian otonomi, kondisi dan perkembangan masyarakat yang dinamis tersebut,memberikan sinyal peringatan bagi pemerintah daerah untuk bersikap arif. Dinamika masyarakat tersebut, harus ditempatkan sebagai tantangan konstukrif yang harus disikapipositif oleh para pemimpin/pengambil kebijakan dan jajaran aparatnya,di dalam memberikan pelayanan publik yang sesuai harapan dan kebutuhan masyarakat.Konsep kebijakan pelayanan publik yang dikemas melalui produk hukum dan/atau kebijakan daerah, umumnya masih didasarkan pada pendekatan kekuasaan kewenangan yang lebih mengedepankan kepentingan pemerintah daerah dan/atau birokrasi,dan belum berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.Konsep kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah, pada hakekatnya ditujukan dan berorientasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (citizen). Disisi lain, kebijakan pelayanan publik diarahkan guna memberdayakan (empowerment) staf danmasyarakat, yang secara bersama-sama saling berinteraksi dalam mendukung meningkatnya kualitas pelayanan. Bobot kebijakan pelayanan yang berorientasi pelayanan umum,seharusnya untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu atau miskin(marjinal), bukan mengutamakan hak-hak atau kepentingan kalangan yang berkemampuanatau pengusaha. Diperlukan keseimbangan mind set dari para penyelenggara pelayanan, didalam menyikapi kepentingan masyarakat yang beragam kepentingan dan kebutuhannya.“Keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik, dalam praktek sangat ditentukandan/atau tergantung pada kemauan dan komitmen dari pimpinan/top manager dan jajaranpimpinan menengah dan bawah, serta aparat penyelenggara operasional pelayanan umum “.Pembagian Urusan dan Kewenangan Pelayanan DasarEsensi dasar dari keberadaan pemerintah, adalah untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (maintain law and order) serta sebagai instrument untuk mensejahterakan rakyat. (Hardiyansyah Ahmad )














BAB III
PEMBAHASAN


A. PROGRAM OBAT MURAH YANG SETENGAH JALAN
Obat murah. Oh obat murah. Kehadiranmu bak oase di tengah gersangnya gurun pasir. Sayang, percikan kesegarannya belum bisa diteguk oleh semua orang.
Secara global, harga obat di Indonesia terbilang mahal. Harganya mencapai 25%-30% di atas harga rujukan internasional. Padahal sebagian besar penduduk Indonesia adalah rakyat miskin. Dampaknya daya beli masyarakat terhadap obat rendah. Hal ini sudah lama menjadi salah satu dari daftar panjang masalah sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Namun saat ini, pemerintah telah resmi meluncurkan program obat murah. Obat hasil produksi PT. Indofarma ini dijual dengan harga Rp. 1.000 per strip. Satu strip berisi 5-6 tablet. Dua belas dari dua puluh jenis obat murah tersebut saat ini telah resmi beredar di pasaran. Obat-obat tersebut merupakan obat yang banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu obat penurun panas, obat penurun panas anak, obat sakit kepala, obat flu, obat batuk dan flu, obat batuk cair, obat batuk berdahak, obat maag, obat asma, obat tambah darah, obat cacing, dan obat cacing anak. Respon masyarakat terhadap munculnya obat murah ini beragam. Secara umum ada dua pandangan. Pertama, pihak yang menyambut baik dan mendukung pemerintah. Kedua, pihak yang skeptis dan meragukan kualitas obat murah.
Adanya dua kelompok yang berbeda pandangan terhadap program pemerintah ini bukan hal yang baru. Ketika peraturan mengenai obat generik pertama kali diberlakukan, reaksi yang timbul di masyarakat hampir serupa. Kelompok masyarakat yang meragukan obat murah terlanjur menganggap bahwa obat yang berkualitas adalah obat yang harganya mahal. Sedangkan, obat yang murah selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah dan untuk masyarakat miskin. Padahal, tak selamanya obat berkualitas itu mahal, dan tidak pula selalu obat yang harganya murah itu kualitasnya di bawah standar.
Tren yang berkembang kemudian ternyata ke arah penggunaan obat generik. Pada tahun 2008, penjualan obat generik mencapai 5 triliun rupiah. Angka itu 2 triliun lebih tinggi dari angka penjualan tahun 2007. Tren positif ini diperkirakan akan diikuti oleh program obat murah. Kenaikan harga BBM serta dampak krisis global yang terjadi baru-baru ini memaksa masyarakat untuk membatasi pengeluaran hingga seminimal mungkin, termasuk biaya untuk berobat. Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap obat yang diberikan dokter. Apabila penyakit bisa sembuh dengan obat seharga Rp. 1.000, mengapa harus membeli obat yang lebih mahal? Respon positif masyarakat belum diimbangi distribusi yang merata. Akses yang masih sulit membuat program obat murah ini seperti sebuah kebijakan yang dijalankan setengah hati. PT. Indofarma selaku distributor tunggal belum bisa menjangkau toko obat kecil dan warung-warung, bahkan yang berada di kota-kota besar. Membayangkan obat ini dapat menjangkau puskesmas pedalaman di Papua, agaknya masih berupa angan-angan. Bagaimana dengan peran pelayan kesehatan? Kontras. Antusiasme yang tinggi di masyarakat tampaknya belum menghinggapi kalangan pelayan kesehatan sendiri. Kalangan dokter yang turut mempromosikan obat murah masih sangat sedikit. Hal ini ditengarai banyak kalangan dokter yang belum tersentuh sosialisasi obat murah. Akibatnya, dokter belum optimal memberikan edukasi tentang obat murah kepada masyarakat. Program yang baik di atas kertas, belum tentu baik pula dalam penerapannya. Aksi borong obat murah oleh oknum perusahaan yang merasa tersaingi menjadi salah satu batu sandungan kelancaran program ini. Departemen Kesehatan perlu membuat peraturan yang tegas untuk menanggulangi hal ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan agar obat murah dapat sampai kepada mereka yang berhak. Upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf kesehatan rakyat melalui program obat murah patut diacungi jempol.
Namun jalan tak se-landai yang dibayangkan. Jalan mendaki lagi terjal dan berliku masih terbentang untuk membuat program obat murah benar-benar terasa manfaatnya bagi masyarakat miskin. Sosialisasi, distribusi yang merata, pengawasan ketat, dan ketegasan sikap terhadap oknum yang melanggar peraturan menjadi pekerjaan rumah pemerintah demi menyukseskan program ini.
B. KEBIJAKAN PELAYANAN REPRODUKTIF DI ERA OTONOMI DAERAH
Peranan BKKBN sangat vital dalam pemberian bimbingan terhadap remaja usia produktif dan memberikan pengetahuan akan kontrasepsi. Kedua fungsi tersebut apabila diabaiakn oleh pemerintah kabupaten / kota, karena tidak adanya komitmen kepala daerah terhadap kesehatan reproduksi perempuan, maka akibatnya akan sangat merugikan sekali bagi daerahnya. KB Sebagai Sebuah Kebutuhan Keprihatinan terhadap tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia di tahun enam puluhan mengantarkan pada arti pentingnya perencanaan keluarga melalui pengaturan kehamilan. Kelahiran yang diakibatkan oleh dekatnya usia kehamilan mengakibatkan kematian ibu dan juga anak yang dilahirkan. Perencanaan kelahiran dengan menggunakan alat kontrasepsi saat ini menjadi sebuah kebutuhan , karena dengan pengaturan jarak kehamilan, derajat kesehatan perempuan diharapkan akan meningkat . Ide pengaturan kehamilan bukan dimaksudkan untuk mengendalikan jumlah penduduk, namun lebih didasarkan alasan kesehatan. Pada saat itu angka kematian bayi akibat melahirkan mencapai 800 orang per 100.000 kelahiran. Program yang dimulai dari sebuah LSM Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) di tahun 1957 ini mendapat tantangan yang tidak ringan , karena saat itu Presiden Sukarno menganggap jumlah pertumbuhan penduduk bukan masalah , karena besarnya jumlah penduduk merupakan kekuatan bangsa.. (Juliantara 2000). Tantangan juga disampaikan oleh para ahli agama karena pengaturan kehamilan dianggap sebagai pengingkaran dari fitrah Allah SWT. Rujukan yang sering kali dipakai adalah anak akan mempunyai rejeki sendiri atau banyak anak banyak rejeki. Perbedaan pendapat atau pro dan kontra ini mendapat titik terang dengan dibentuknya sebuah lembaga di masa pemerintahan orde baru . Lembaga ini diberi nama LKBN ( Lembaga Keluarga Berencana Nasional ) yang kemudian tahun 1970 diganti dengan nama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ).
Strategi pemerintah menempatkan program KB dalam sebuah lembaga non departemen yang sifatnya koordinasi ternyata membuahkan hasil. Bukti kesuksesan BKKBN adalah sesuai fungsinya telah mampu melakukan koordinasi di semua lini untuk mencapai target yang ditentukan. Supaya mempunyai dasar yang kuat pemerintah berturut-turut menerbitkan UU No 10 tahun 1992 tentang kesejahteraan keluarga, PP No.21 tahun 1994 dan PP No 27 tahun 1994 yang mengatur tentang perkembangan penduduk, serta beberapa Inpres/ Kepres yang mengatur tentang berencana dan kesehatan reproduksi menjadi salah satu sebab kompleknya masalah yang sangat mungkin berkembang jika pelimpahan BKKBN tidak dipikirkan secara bijaksana. Situasi yang selama ini telah mendorong masyarakat enggan mempunyai anak banyak adalah bukan saja alasan ekonomi, namun juga alasan social.
BKKBN telah mewariskan perubahan nilai anak dalam keluarga, sedikitnya jumlah anak dalam keluarga telah menjadi symbol keluarga modern, keluarga yang bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya (Wahyuni, 1997). Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan kependudukan bertumpu pada dasar-dasar pemikiran yang dikembangkan untuk mengatasi problema kependudukan. Dalam bentuknya yang paling kongkrit , pemikiran -pemikiran dasar tersebut diterjemahkan dalam sebuah gerakan pembangunan kependudukan yang disebut KB yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tingkat persebaran penduduk yang tidak seimbang (BKKBN, 1994). Lahirnya sebuah kebijakan memerlukan beberapa hal untuk diperhatikan. Pertama, kebijakan dan strategi tersebut bersifat terencana (by design), yang tidak lahir dan berkembang dari kehendak sosiologis, ekonomis, maupun politis yang sifatnya ad hoc, tidak terencana. Kedua kebijakan dan strategi tersebut, tidak semata mata untuk mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk, tetapi lebih pada menciptakan masyarakat Indonesia yang bertanggung jawab dengan paradigma hidup sehat menuju SDM yang berkualitas. Hak Reproduksi Perempuan. Hak Reproduksi perempuan bukanlah istilah baru. Hak ini bermuara pada ide bahwa perempuan harus menjaga organ reproduksinya termasuk kapan, bagaimana, dan jumlah anak yang akan dilahirkan. Di Indonesia, pemikiran tentang reproduksi perempuan sebenarnya telah lama hadir di tengah kehidupan kita sehari-hari. Hal ini terbukti dengan adanya pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan atau ramuan untuk mencegah kehamilan atau justru untuk mendatangkan kehamilan. Keprihatinan akan pelanggaran hak reproduksi perempuan telah mendorong hadirnya organisasi -organisasi pemerhati masalah kesehatan dan reproduksi perempuan yang dapat ditegaskan sebagai perwujudan dari pentingnya hak reproduksi bagi kaum perempuan di Indonesia. Pengertian kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan social yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam aspek yang berhubungan dengan system reproduksi (WHO, 1992).
Fungsi reproduksi perempuan adalah hak bukan suatu kewajiban yang mutlak harus dijalankan oleh kaum perempuan. Akibatnya perempuan selalu dituntut untuk menjalankan fungsi reproduksinya . Apabila seorang perempuan sudah menikah, ia akan dituntut untuk memiliki anak. Masyarakat memandang bahwa posisi perempuan hanya sebagai pelanjut keturunan. Perempuan yang mengatakan tidak ingin memiliki anak tidak akan pernah atau sulit dipahami oleh masyarakat.
Seorang perempuan tidak ingin melanjutkan kehamilannya maka ia akan dianggap sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab atau bukan perempuan baik. Padahal ada berbagai alasan yang melatarbelakangi keputusan seorang perempuan untuk tidak meneruskan kehamilanya, seperti kegagalan alat kontrasepsi, korban perkosaan, dalam status ikatan dinas, bahkan karena keadaan ekonomi. Perempuan seharusnya bisa menentukan apa yang sebaiknya dilakukan untuk dirinya sendiri dan apa yang baik atau tidak baik bagi tubuhnya. Atas dasar pandangan ini, maka penegakan hak reproduksi sangat diperlukan agar perempuan dapat mengambil keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah reproduksinya.
Pentingnya BKKBN bagi kesehatan reproduksi tampaknya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, karena dilihat dari pengalamannya selama beberapa decade, BKKBN telah mampu membuktikannya. Untuk itu, alternative kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota agar tetap memiliki fungsi dari BKKBN tersebut antara lain, melalui beberapa hal : kemiskinan. Keseluruhannya mengatur tentang keluarga sejahtera , dengan gerakan keluarga berencana sebagai ujung tombaknya. Ironisnya tujuan program Perencaaan Keluarga secara ideology berbeda dengan ide semula. Keluarga Berencana lebih banyak dikonsentrasikan sebagai upaya menurunkan pertumbuhan penduduk atau untuk mengendalikan jumlah penduduk . Dengan melibatkan beberapa departemen, lembaga swasta, lembaga profit, lembaga keagamaan dan lembaga social lainya, BKKBN mampu menyakinkan masyarakat sehingga bersedia mengikuti anjuran untuk menggunakan alat kontrasepsi. Pendekatan yang dilakukan lebih pada bagaimana mendorong masyarakat agar bersedia membatasi jumlah anak dengan mengubah cara pandang dari banyak anak banyak rejeki menjadi NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera).
Kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga akan lebih mudah diwujudkan jika jumlah anak tidak melebihi dua orang . Pendekatan ini sudah sarat dengan nilai-nilai ekonomi, bukan lagi pendekatan yang mendorong masyarakat untuk menyadari arti penting " tubuh yang sehat ". Program KB yang ditawarkan lebih mengutamakan bagaimana perempuan untuk tidak hamil, sehingga muncul program MKET (Metode Kontrasepsi Efektif terpilih). Program dikonsentrasikan untuk menyediakan berbagai fasilitas agar masyarakat bersedia menggunakan alat kontrasepsi yang menurut pengalaman mampu mencegah kehamilan secara efektif.
Program tidak lagi berupaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan perempuan karena jenis-jenis alat kontrasepsi mempunyai kelebihan dan kekurangan yang sangat besar kemungkinannya untuk tidak dapat dikonsumsi oleh seseorang (Wahyuni, 1997). Untuk mencapai target yang ditentukan, tidak sedikit insentif yang ditawarkan kepada calon pengguna, seperti beasiswa bagi murid Sekolah Dasar yang ibunya bersedia menggunakan alat kontrasepsi IUD, bantuan modal UPPK (Usaha Peningkatan Pendidikan Keluarga), dan bantuan kelapa hibrida bagi akseptor IUD yang telah mencapai minimal lima tahun. Di dalam program ini pengguna alat kontrasepsi mendapat perhatian yang berlebih dibandingkan dengan yang lain. Hal ini memang tidak dapat dipertahankan karena terbatasnya dana, khususnya ditahun 1997 ketika krisis ekonomi melanda dunia, mengakibatkan pemberian fasilitas alat kontrasepsi berhenti. Semua yang sudah tertata secara lengkap dan gratis menjadi sangat terbatas, bahkan cenderung langka atau seandainya tersedia, harus dibeli dengan harga yang menurut ukuran masyarakat mahal. Situasi ini mendorong perempuan yang memang tidak terbiasa menganggarkan biaya kontrasepsi menjadi malas pergi ke puskesmas untuk memasang atau mengganti alat kontrasepsi.
Di tengah situasi yang sulit karena krisis ekonomi, nasib pengguna alat kontrasepsi harus menghadapi masalah lain yaitu dengan diberlakukkannya kebijakan otonomi daerah, maka telah mengantarkan dileburnya atau diserahkannya lembaga BKKBN dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada bulan Juni 2003. Ini berarti semua akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah kabupaten/kota menempatkan program pelayanan kontrasepsi dan kesehatan reproduksi menjadi sebuah kebutuhan untuk meningkatkan derajat kesehatan
satu pejabat kesehatan " dengan dana yang sangat terbatas jangankan menyediakan fasilitas KB, membantu pasien yang terancam nyawanya saja belum tentu memadai, seperti demam berdarah".
Ungkapan senada juga terungkap oleh pejabat BKKBN yang menganggap bahwa era otonomi daerah tidak lagi memerlukan KB karena beberapa daerah memang penduduknya tidak banyak. Mencermati temuan di atas, sangat ironis jika pada akhirnya program KB yang sudah dijadikan gerakan secara nasional masih dipahami sebagai upaya untuk mengendalikan jumlah penduduk atau program yang tidak memerlukan perhatian secara khusus, karena dianggap tidak mengancam nyawa seseorang. Padahal 30 persen penyumbang angka kematian ibu di Indonesia diakibatkan oleh unsafe abortion. Karena dilakukan oleh tenaga yang tidak professional ( Widyanto, 1993). Kehamilan yang tidak dikehendaki (ktd) pada ibu rumah tangga, 50 persen diantaranya disebabkan melepas atau menghentikan penggunaan alat kontrasepsi. (PKBIDIY,2000)
Sering kali diungkapkan oleh sebagian besar pemerintah kabupaten / kota sebagai kendala dalam menciptakan kebijakan kesehatan yang tepat sasaran. Masalah tersebut ternyata membawa implikasi yang tidak sesederhana bagi perempuan. Khususnya tentang kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi masih menjadi prioritas yang terabaikan dari setiap pemerintah kabupaten/kota. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan reproduksi mempunyai keterkaitan dengan kebijakan lainnya. Kesehatan reproduksi tidak sebatas pada pelayanan teknis medis, tetapi juga masalah social, misalnya dampak perilaku seksual yang tidak sehat akan berakibat pada kualitas kesehatan reproduksi. Ketidaksiapan perempuan menerima kehamilannya, karena jarak kehamilanya yang terlalu dekat akan menyebabkan perempuan mencari pelayanan aborsi yang tidak aman. Kedua hal ini sebagai contoh betapa masalah kesehatan reproduksi perempuan menjadi sangat penting dan mendesak untuk diperhatikan.
Sampai saat ini , kebijakan yang menyangkut kesehatan reproduksi berada dibawah BKKBN yang posisinya masih berada dltingkat pusat. Namun mulai bulan Juni 2005, BKKBN diserahkan kepada pemerintah Kabupaten /kota. Keadaan ini ternyata menyebabkan permasalahan yang cukup rumit disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
Pertama, memasukkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan ini pun belum sepenuhnya menjanjikan keberhasilan terhadap perlindungan kesehatan reproduksi perempuan. Mengingat kegiatan atau program yang dilakukan di Dinas Kesehatan masih bergerak di seputar peningkatan gizi dan pemberantasan penyakit menular, maka kesehatan reproduksi perempuan dapat menjadi salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peranan Dinas Kesehatan di mata publiknya. Dengan tugas-tugas yang ada di Dinas Kesehatan sudah seharusnya perlu ditambahkan satu unit khusus yang menangani kesehatan reproduksi perempuan. Selain untuk mengurangi alokasi dana dengan membentuk dinas tersendiri, juga akan lebih efisien apabila memasukkannya sebagai bagian dalam dinas yang telah ada. Dinas Kesehatan dapat memanfaatkan tenaga-tenaga BKKBN yang biasanya sudah mempunyai kompetensi tertentu, untuk melakukan pembinaan mengenai kesehatan reproduksi perempuan yang tidak hanya sebatas teknis medis, namun juga social dan budaya.
Ada yang perlu diperhatikan dalam pemberian pelayanan kesehatan reproduksi perempuan tersebut, yaitu tentang penghargaan masyarakat khususnya perempuan dan jalinan interaksi antara masyarakat dengan petugas yaitu interaksi yang berkualitas, bukan sekedar formalitas atau karena keterpaksaan. Standar kualitas pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan oleh perempuan antara lain adalah adanya sikap yang ramah, penuh pengertian, sabar, tidak judes, serta memberikan informasi secara lengkap, jelas, baik, dan benar mengenai kesehatan reproduksi.
Kebutuhan akan standar kualitas pelayanan menjadi bagian yang amat penting mengingat selama ini petugas lapangan KB cenderung tidak memberikan informasi secara lengkap tentang kekurangan dan efek samping karena takut calon klien KB akan mundur. Terkadangjuga, minim sekali informasi mengenai cara kerja metode tertentu. Seringkali ditemukan bahwa pengguna KB tidak mempunyai kesempatan bertanya, atau petugas menggunakan istilah yang tidak dimengerti oleh klien.
Selain itu alasan keterbatasan anggaran (budget constraint), tenaga medis, sarana dan praarana. Persoalannya, kesalahan tidak bisa sepenuhnya ditimpakan kepada petugas. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa ada kecenderungan masyarakat untuk memosisikan klien lebih rendah dari petugas. Kecenderungan seperti ini disebabkan klien tidak mempunyai alternatif lain untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan fasilitas yang murah dan mudah dijangkau. Akibatnya muncul kerelaan klien untuk pasrah dan menerima begitu saja informasi yang diberikan petugas.
Kedua, peran pemerintah pusat tetap diperlukan untuk menangani masalah -masalah yang krusial. Seperti diketahui bahwa dengan lahirnya Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka daerah memiliki kewenangan yang luas, untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini justru menjadi hambatan bagi masalah kesehatan reproduksi perempuan. Banyak pemerintah kabupaten/kota belum mempunyai komitmen tinggi akan pentingnya masalah ini sehingga cenderung meniadakannya. Untuk itu peran pemerintah pusat masih diperlukan untuk mengambil alih fungsi tersebut.
Ketiga, pemerintah kabupaten /kota harus melakukan koordinasi dengan dinas lainnya, misalnya dinas Kependudukan, supaya terjadi kesesuaian program dan kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan.
Keempat, kepala daerah harus memiliki komitmen yang tinggi untuk menempatkan hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi dengan tepat. Yaitu :
1. Mendapat informasi yang jelas, lengkap, dan akurat mengenai kesehatan reproduksi.
2. Mendapat akses layanan tanpa diskriminasi apapun
3. Membuat pilihan dengan bebas dan mandiri yang berkaitan dengan hak kesehatan
reproduksi. Mendapat jaminan keamanan dan keselamatan atas pilihan layanan yang diterima.
4. Dihargai privasinya
5. Dijaga kerahasiaanya
6. Dijaga harkat dan martabatnya
7. Mendapatkan kenyamanan dalam pelayanan
8. Memperoleh jaminan keberlangsungan kebijakan atauprogram-program yang dilakukan pelayanan oleh Dinas kesehatan setempat.
9. Didengar pendapatnya
Kelima, Membuat standar operasional yang jelas mengenai kesehatan reproduksi perempuan. Pelaksanaan standar prosedur operasional saat ini masih dirasa kurang menjamin pemenuhan hak masyarakat atas keamanan dan keselamatan dalam layanan yang diterimanya. Jaminan keberlangsungan pelayanan tidak sekedar tercukupinya persediaan alat kontrasepsi yang dapat dipilih masyarakat, tetapi juga tersedianya petugas yang dapat diandalkan untuk melakukan pemantauan dan layanan purna jasa bila diperlukan. Semua itu kembali kepada tujuan pencapaian fungsi reproduksi yang sehat untuk terbentuknya keluarga yang berkualitas.
Keenam, harus ada tekanan dari civil society akan pentingnya kesehatan reproduksi perempuan.Melalui tekanan-tekanan dari civil society tersebut diharapkan pemerintah kabupaten/kota menjadi peduli dengan mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada kesehatan reproduksi perempuan. (Karningsih)


















BAB IV
PENUTUP


A. SIMPULAN
1. Analisis kebijakan kesehatan adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak, dalam mengambil kebijakan di bidang kesehatan berlandaskan atas manfaat yang optimal yang akan diterima oleh masyarakat
2. Otonomi daerah adalah hak,wewenang dan kewajiban yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur dan mengurusurusan pemerintahan untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat.
3. Pelayanan Publik Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baikdalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
4. Pandangan masyarakat berbeda – beda terhadap program pemerintah ini. Ketika peraturan mengenai obat generik pertama kali diberlakukan, reaksi yang timbul di masyarakat hampir serupa. Kelompok masyarakat yang meragukan obat murah terlanjur menganggap bahwa obat yang berkualitas adalah obat yang harganya mahal. Sedangkan, obat yang murah selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah dan untuk masyarakat miskin. Padahal, tak selamanya obat berkualitas itu mahal, dan tidak pula selalu obat yang harganya murah itu kualitasnya di bawah standar.
5. Implikasi perubahan kelembagaan pda era otonomi daerah, saat lembaga yang selama ini berperan besar dalam pelayanan kesehatan reproduksi pada tingkat pusat (BKKBN) akan dihapuskan dan diserahkan kepada pemerintah kabupaten / kota. Posisi BKKBN sebagai lembaga yang bersifat koordinatif dapat menjadi tidak jelas., dalam merumuskan arah kebijakan reproduksi karena semuanya akan sangat tergantung pada visi dan komitmen kabupaten atau kota yang bersangkutan, dengan alasan kerterbatasn dana, dapat saja kabupaten / kota mengabaikan program pelayanan kesehatan reproduksi, khususnya dibidang keluarga berencana.Berkaitan dengan hal tersebut, maka alternatif kebijakan untuk tetap melanjutkan program-program pelayanan kesehatan reproduksi yang telah dilakukan oleh BKKBN perlu dirumuskan oleh pemerintah kabupaten / kota.
6. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa (Mamesah, 1995: 56).
B. SARAN
Semoga pemerintah daerah dan pusat bisa memperhatikan masalah yang ada didalam makalah ini, dan sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dalam dunia kesehatan dapat mengaspirasikan ide – idenya, demi terwujudnya selogan departemen kesehatan ”Menuju Rakyat Sehat”.












DAFTAR PUSTAKA


Jurnal Ilmiah, Admnistrasi Publik, Birokrasi Era Reformasi, Vol. V No 1, September 2004 –Februari 2005.
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Penataan Kelembagaan Pemerintahan, Edisi 7, Tahun 2002,Penerbit, Masyarakat Ilmu Pemerintahan.
Jurnal Desentralisasi, Lembaga Adminisrasi Negara Republik Indonesia, Volume 5 No. 3,Tahun 2004.
Jurnal Potret Suplai dan Kualitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia Ditulis oleh Irwandi, Rabu 29 Oktober 2009.
Jurnal ALTERNATIFKEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DI ERA OTONOMI DAERAH Ditulis oleh Karningsih.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam 7 Ditulis oleh Pedy, Rabu 3 Juni 2009
Jurnal kebijakan sosial ditulis oleh edi suharto, PhD
Jurnal Strategi Pengembangan Asuransi Kesehatan di Era Desentralisasi ditulis oleh Hasbullah Thabrany2, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, Universitas Indonesia
Jurnal Program Obat Murah Baru Setengah Jalan Ditulis oleh Prima Almazini 15 December 2008.
Sinambela., Lijan Poltak dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta.
www. wikepedia.com

1 komentar:

  1. baguss sekali sangat membantu... ditunggu kinjungan baliknya ya sahabatberguna123.blogspot.com

    BalasHapus